TUGAS SOFTSKILL
ASPEK HUKUM DALAM
EKONOMI #
BAB IV
"HUKUM
PERIKATAN"
BULDAN ABDUL LATIF
21212525
2EB13
JURUSAN AKUNTANSI / FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS GUNADARMA
BAB IV
HUKUM PERIKATAN
Hukum Perikatan
Hukum perikatan adalah suatu
hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua orang atau lebih di mana
pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.
Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibathukum, akibat
hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan
perikatan.
Di dalam hukum perikatan
setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian,
perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang
atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat
kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang
telah diatur dalam Undang-undang.
Di dalam perikatan ada
perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu.
Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat
sesuatu adalah melakukan perbuatan yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar
undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak
berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang
telahdisepakati dalam perjanjian.
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan
yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan sumber dari
undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan undang-undang
dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia dibagi lagi
menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata
terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
Ø Perikatan yang
timbul dari persetujuan ( perjanjian )
Ø Perikatan yang
timbul dari undang-undang
Ø Perikatan terjadi
bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Ø Sumber perikatan
berdasarkan undang-undang :
Ø Perikatan ( Pasal
1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena
undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
Ø Persetujuan (
Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu
orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
Ø Undang-undang (
Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian
1.
Asas kebebasan berkontrak
Asas ini mengandung pengertian
bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun juga, baik yang telah
diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur dalam undang-undang (lihat
Pasal 1338 KUHPdt).
Asas kebebasan berkontrak
dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt, yang berbunyi:
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya.”
Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan
kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak
membuat perjanjian;
2. Mengadakan
perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi
perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk
perjanjiannya apakah tertulis atau lisan.
Latar belakang lahirnya asas
kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme yang secara embrional
lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang
pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht,
Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau. Menurut paham individualisme,
setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
Dalam hukum kontrak, asas ini
diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa
the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas. Karena
pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi didalam kehidupan
sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme memberikan peluang yang luas
kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai golongan lemah ekonomi. Pihak yang
kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam
cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap dalam exploitation de homme
par l’homme.
2.
Asas Konsesualisme
Asas konsensualisme dapat
disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal tersebut ditentukan
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara
kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian
pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya
kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas konsensualisme muncul
diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam hukum Jerman tidak dikenal
istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal dengan sebutan perjanjian
riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah suatu perjanjian yang dibuat
dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat disebut secara kontan). Sedangkan
perjanjian formal adalah suatu perjanjian yang telah ditentukan bentuknya,
yaitu tertulis (baik berupa akta otentik maupun akta bawah tangan).
Dalam hukum Romawi dikenal
istilah contractus verbis literis dan contractus innominat. Yang artinya bahwa
terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas
konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah berkaitan dengan bentuk
perjanjian.
3.
Asas Kepastian Hukum
Asas kepastian hukum atau
disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan
dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa hakim
atau pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para
pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.
Asas pacta sunt servanda dapat
disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas ini pada mulanya dikenal
dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan bahwa terjadinya suatu
perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang melakukannya dan dikuatkan
dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap perjanjian yang diadakan
oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan dikaitkan dengan unsur
keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas pacta sunt servanda
diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak perlu dikuatkan
dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan istilah nudus pactum
sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4.
Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas itikad baik tercantum
dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi: “Perjanjian harus dilaksanakan
dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak
kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan
kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak. Asas
itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik nisbi (relative) dan
itikad baik mutlak.
Pada itikad yang pertama,
seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek. Pada
itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan keadilan serta dibuat
ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut
norma-norma yang objektif.
5.
Asas Kepribadian (Personality)
Asas kepribadian merupakan
asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat
kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat dalam
Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal 1315 KUHPdt menegaskan:
“Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain
untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini sudah jelas bahwa untuk mengadakan
suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk kepentingan dirinya sendiri.
Wanprestasi dan Akibatnya
Wanprestasi adalah tidak
memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam
perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
ʋ Tidak melakukan
apa yang disanggupi akan dilakukannya
ʋ Melaksanakan apa
yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
ʋ Melakukan apa yang
dijanjikan tetapi terlambat
ʋ Melakukan sesuatu
yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat wanprestasi
berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wanprestasi,
dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur,
yakni :
Ø Biaya
adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh salah satu pihak
Ø Rugi
adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang
diakibatkan oleh kelalaian si debitor
Ø Bunga
adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau
dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah
diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata.
3.
Peralihan resiko
Adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika
terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang
dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH Perdata.
Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal 1381 secara tegas
menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara tersebut adalah:
Ø Pembayaran.
Ø Penawaran
pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau penitipan (konsignasi).
Ø Pembaharuan
utang (novasi).
Ø Perjumpaan
utang atau kompensasi.
Ø Percampuran
utang (konfusio).
Ø Pembebasan
utang.
Ø Musnahnya
barang terutang.
Ø Batal/
pembatalan.
Ø Berlakunya
suatu syarat batal.
Ø Dan
lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran dalam arti sempit
adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur, pembayaran seperti ini
dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan pengertian pembayaran dalam
arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi juga dalam bentuk jasa
seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur atau guru privat.
Konsignasi
Konsignasi terjadi apabila
seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh debitur, debitur dapat
melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan jika kreditur masih
menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di pengadilan.
Novasi
Novasi adalah sebuah
persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan sekaligus suatu
perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat yang asli. Ada tiga
macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau pembaharuan utang yakni:
1.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan
karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama,
yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi
subjektif pasif).
3.
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk
untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari
perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Yang dimaksud dengan
kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan saling
memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan debitur.
Konfusio
Konfusio adalah percampuran
kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi
satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen ditunjuk sebagai waris tunggal
oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan krediturnya dalam suatu persatuan
harta kawin
CONTOH KASUS :
A. Kronologis
Kasus
Pada permulaan PT Surabaya
Delta Plaza (PT SDP) dibuka dan disewakan untuk pertokoan, pihak pengelola
merasa kesulitan untuk memasarkannya. Salah satu cara untuk memasarkannya
adalah secara persuasif mengajak para pedagang meramaikan komplek pertokoan di
pusat kota Surabaya itu. Salah seorang diantara pedagang yang menerima
ajakan PT surabaya Delta Plaza adalah Tarmin Kusno, yang tinggal di
Sunter-Jakarta.
Tarmin memanfaatkan ruangan
seluas 888,71 M2 Lantai III itu untuk menjual perabotan rumah
tangga dengan nama Combi Furniture. Empat bulan berlalu Tarmin menempati
ruangan itu, pengelola SDP mengajak Tarmin membuat “Perjanjian Sewa Menyewa”
dihadapan Notaris. Dua belah pihak bersepakat mengenai penggunaan
ruangan, harga sewa, Service Charge, sanksi dan segala hal yang bersangkut paut
dengan sewa menyewa ruangan. Tarmin bersedia membayar semua kewajibannya
pada PT SDP, tiap bulan terhitung sejak Mei 1988 s/d 30 April 1998 paling
lambat pembayaran disetorkan tanggal 10 dan denda 2 0/00 (dua permil) perhari
untuk kelambatan pembayaran. Kesepakatan antara pengelola PT SDP dengan
Tarmin dilakukan dalam Akte Notaris Stefanus Sindhunatha No. 40 Tanggal
8/8/1988.
Tetapi perjanjian antara
keduanya agaknya hanya tinggal perjanjian. Kewajiban Tarmin ternyata
tidak pernah dipenuhi, Tarmin menganggap kesepakatan itu sekedar formalitas,
sehingga tagihan demi tagihan pengelola SDP tidak pernah dipedulikannya.
Bahkan menurutnya, Akte No. 40 tersebut, tidak berlaku karena pihak SDP telah
membatalkan “Gentlement agreement” dan kesempatan yang diberikan untuk menunda
pembayaran. Hanya sewa ruangan, menurut Tarmin akan dibicarakan kembali
di akhir tahun 1991. Namun pengelola SDP berpendapat sebaliknya.
Akte No. 40 tetap berlaku dan harga sewa ruangan tetap seperti yang tercantum
pada Akta tersebut.
Hingga 10 Maret 1991, Tarmin
seharusnya membayar US$311.048,50 dan Rp. 12.406.279,44 kepada PT SDP.
Meski kian hari jumlah uang yang harus dibayarkan untuk ruangan yang
ditempatinya terus bertambah, Tarmin tetap berkeras untuk tidak membayarnya.
Pengelola SDP, yang mengajak Tarmin meramaikan pertokoan itu.
Pihak pengelola SDP menutup COMBI Furniture secara
paksa. Selain itu, pengelola SDP menggugat Tarmin di Pengadilan Negeri
Surabaya
• Kasus Jayenggaten SEMARANG
Akta jual beli tanah
Jayenggaten dari ahli waris Tasripien kepada pemilik Hotel Gumaya, dinilai
cacat hukum. Akta yang disahkan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) itu
menyebutkan, tanah seluas 5.440 m2 di Kampung Jayenggaten beserta bangunan yang
berdiri di atasnya dijual oleh Aisyiah, ahli waris Tasripien, kepada Hendra
Soegiarto, pemilik Hotel Gumaya.
Padahal, menurut Guru Besar Fakultas Hukum Unika
Soegijapranata, Prof Dr Agnes Widanti SH CN, sejak puluhan tahun lalu warga
hanya menyewa lahan; sedangkan bangunan rumah yang ada di kampung tersebut
didirikan oleh warga.”Sejak 1995, ahli waris Tasripien tidak pernah mengambil
uang sewa tanah. Sebelumnya, sistem pembayaran sewa dilakukan secara ambilan,
bukan setoran. Karenanya, warga dianggap tidak membayar,” kata Agnes dalam
pertemuan membahas kasus sengketa Jayenggaten, di Balai Kota, Selasa (6/9).
Baik dalam kasus perdata maupun pidana, Pengadilan
Negeri Semarang menyatakan warga bersalah. Tak puas dengan amar putusan
tersebut, warga Jayenggaten mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Hingga hari
ini belum ada putusan MA atas kasus tersebut.
Diskusi pakar hukum yang difasilitasi Desk Program 100
Hari itu, menghadirkan sejumlah pakar hukum. Selain Agnes, hadir pula pakar
sosiologi hukum Undip, Prof Dr Satjipto Rahardjo SH, pakar hukum tata negara
Undip, Arief Hidayat SH MH, dan pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH
CN MH.
Arief Hidayat menilai, ada fakta yang disembunyikan
oleh notaris PPAT. Jika bangunan benar-benar milik warga, maka ahli waris
Tasripien tidak berhak menjual bangunan itu kepada orang lain.
”Jika benar demikian, notaris PPAT yang mengurus akta
jual-beli itu bisa diajukan ke PTUN. Sebagai pejabat negara, PPAT dapat digugat
ke pengadilan tata usaha negara,” ujarnya.
TakMemutus Sewa
Pakar hukum agraria Unissula, Dr Ali Mansyur SH CN MH
mengatakan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan, jual-beli tidak dapat
memutus sewa-menyewa.
Dalam ketentuan hukum perdata, sewa menyewa dapat
dilakukan secara tertulis maupun secara lisan. Warga Jayenggaten, menurut Ali,
hingga kini masih bersikukuh menyatakan bahwa mereka adalah para penyewa.
Sebaliknya, pemilik Hotel Gumaya merasa memiliki bukti
kepemilikan yang sah, sehingga merasa berhak melakukan pengosongan lahan.
”Selama belum ada keputusan hukum yang tetap, upaya damai masih bisa dilakukan.
Harus ada penyelesaian antara pemilik pertama (ahli waris Tasripien-Red),
pemilik kedua (pemilik Hotel Gumaya), dan warga Jayenggaten,” usulnya.
Sementara itu Kepala Bagian Hukum Pemkot, Nurjanah SH
menuturkan, terdapat 32 rumah dan satu musala di kampung Jayenggaten. Saat ini,
ada 55 keluarga atau 181 jiwa yang tinggal di kampung tersebut. Menurutnya,
pada 8 Januari lalu warga membentuk tim tujuh sebagai negosiator tali asih.
Saat itu pemilik Hotel Gumaya bersedia memberi kompensasi sebesar Rp
300.000/m2, namun warga meminta Rp 2 juta/m2. Pemilik hotel kemudian menawar Rp
1 juta/m2, namun warga menolak.
Wakil Wali Kota, Mahfudz Ali mengatakan, Pemkot sudah
berusaha memediasi warga dengan pemilik Hotel Gumaya. Bahkan, beberapa waktu
lalu Mahfudz mengundang Hendra Soegiarto untuk membicarakan kemungkinan jalan
damai. ”Namun rupanya, Hendra merasa lebih kuat karena pengadilan telah
memenangkan kasusnya. Ia tidak bersedia negosiasi karena merasa menang,” kata
dia.
Pada kesempatan itu, Mahfudz memprihatinkankan aksi
pembakaran boneka wali kota yang dilakukan warga Jayenggaten pada unjuk rasa
beberapa waktu lalu. Menurut dia, Pemkot sudah melakukan berbagai upaya untuk
membuat kasus Jayenggaten terselesaikan dengan baik. ”Kami sudah berbuat
demikian, kok masih ada saja yang membakar boneka Pak Wali. Saya kan jadi
prihatin,” ujarnya.
http://frozenblood666.blogspot.com/2012/06/contoh-kasus-hukum-perikatan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar